Skip to main content

C I N T A

"Aku malu dengan diriku. Aku malu telah berani mengharapkanmu. Aku malu telah menyatakan hal yang tidak kamu miliki rasanya. Aku malu telah jatuh cinta kepada sosok yang hanya sebatas penyemangat."

Ini rasa yang aku sembunyikan selama tiga tahun.  Waktu sebelum panitia wisuda memanggil namaku sebagai mahasiswi dengan IPK terbaik.

Waktu sebelum kamu menarik tanganku, dan mengajakku bercumbu dengan hujan.
Waktu sebelum Kedai Arch menjadi tempat terakhir kita bertukar pikiran.

**

"Selamat atas keberhasilan yang selalu kamu impikan." Bungkusan kado kamu suguhkan kepadaku. Entah apa isinya, tidak segera aku buka.

"Terima kasih, semua juga berkat kerja sama kita." Ucapku dengan senyuman sederhana yang tidak lagi asing.

Antara aku dan kamu. Antara malam ini dan kemarin. Ada rasa yang berbeda, setelah hujan siang tadi. Setelah aku sampaikan perasaan tertahanku selama tiga tahun.

Semuanya berubah, bahkan malam ini. Malam yang sama seperti malam kemarin, memiliki rasa yang berbeda.

"Aku, menganggapmu tidak lebih dari adik yang tersayang." Tangan besar itu menghangatkan dingin di antara jemariku. Ada sesak yang tidak tertahan juga tidak berair mata. Ada apa? Aku salah jika menyatakan cinta? Bukankah ini fitrah manusia untuk jatuh cinta?

"Iya aku tahu. Ini adalah keberanian terbodoh yang pernah aku lakukan. Waktu yang tidak tepat." Jawabku menahan sesak dengan tetap tersenyum. Menyembunyikan kesakitan terdalam.

"Bukan. Waktu yang belum siap." Kamu menyanggah pernyataanku. Kenapa? Apakah kamu juga mengharapkan waktu siap dengan kisah ini?

"Sama saja. Setelah ini, aku tidak akan seberani itu lagi. Mengharap tanpa diharapkan." Jawabku melepaskan ikatan erat jemarimu. Terima kasih bimbingan satu tahun pertama dan semangat dua tahun berikutnya.

Aku akan pergi jauh, untuk waktu yang lama. Namun aku pasti kembali, karena ini adalah tempat yang menjadikan aku awal dari kebahagiaan. Termasuk kamu dan ikatan batas yang tidak bisa kita lampaui.

"Percayalah. Jangan ubah yang kamu miliki. Meski setelah malam ini, semuanya akan berbeda." Wajahmu penuh nasihat. Tidak seperti biasa, sikap konyol dan menyebalkan itu hilang dalam keseriusan yang tidak aku harapkan.

"Selain perasaanmu kan?" Dan udara semakin dingin. Kakiku berteriak untuk beranjak. Entah mengapa mata ini masih saja ingin melihatmu. Untuk yang terakhir.

"Itu, aku tidak bisa menjamin." Kembali tanganmu meraih jemari dinginku.

Aku malu dengan diriku. Aku malu telah berani mengharapkanmu. Aku malu telah menyatakan hal yang tidak kamu miliki rasanya. Aku malu telah jatuh cinta kepada sosok yang hanya sebatas penyemangat.

"Bisa bilang cinta?" tanyaku. Menatap matanya. Menelusup dalam jiwa yang saling bertukar aura.

"Bisa, tetapi tidak untuk sekarang. Ada batas yang tidak bisa kita lampaui."

Apakah usia yang menjadi penghalang ketidaksiapan waktu? Enam tahun itu tidak jauh. Dan aku terbiasa dengan perasaan yang aku sebut cinta berbatas usia.

Haruskah aku mengatakan untuk yang kedua kalinya? Ah, rasanya aku mati dalam keadaan yang menghukum keberanianku. Ada apa? Salahkah aku berani mengharapkan cintamu?

"Hanya status antara mahasiswi dan dosen. Aku masih saja bergurau tentang perasaan. Sudah tahu tidak mungkin." Kulepas genggaman hangatmu untuk yang ke dua. Ada rasa lega setelah itu. Aku akan sangat mengerti. Dan lebih dari paham. Bagaimana bisa aku memberanikan diri mencintaimu. Sedangkan kamu sedang memberanikan diri membatasi cinta yang ada padamu.

"Kita pasti bisa. Kamu pasti bisa." Suara beratmu menelusup ke dalam ingatan. Padahal aku seorang makhluk langka yang tidak bisa mengingat hal dalam jangka pendek. Namun untuk suara terakhirmu. Aku selalu ingat, sampai pada aroma kopi yang akan mengantarkan perasaan kita nanti.

"Setidaknya tahun-tahun berikutnya tempat ini masih ada. Agar aku bisa merasakan perubahan dari perasaanku, dan juga kamu." Langkahku tegas. Meninggalkan kebersamaan dalam diorama kelas bahasa selama satu tahun.

Dalam kebersamaan kerja selama tiga tahun dan keberanian pengharapan yang sudah aku lepas. Meski perasaan ini masih tetap sama, pada jalan yang telah berbeda. Akankah cinta itu bisa berubah dalam waktu sesingkat satu atau dua tahun? Bisakah waktu bersiap mempertemukan kita lagi? Entahlah, cinta ini terlalu lemah untuk disetarakan dengan waktu. Dan kembali dalam dialog sederhana aku bertanya, bolehkan aku bertahan dalam pengharapan ini?

Note: tulisan dua tahun lalu.

Comments

Popular posts from this blog

Putri Al Fatih Quotes #8

Putri Al Fatih Quotes #9

Quotes by Putri Al Fatih Support by Paletto App ... @2017

Putri Al Fatih Quotes #10