Skip to main content

Mr. Pras : Sehangat Sepahit (Spesial Percakapan Nafa dan Manda)

Delapan Desember 2015 …

“Jangan memaksakan diri.”

Sebuah suara yang tidak asing. Manda berdiri tepat di sisi kiriku. Menatap sungai Kapuas dengan menantang. Dia tampak hebat kali ini, dengan setelan seperti wanita kurang beruntung yang tegar meski tidak mendapatkan sosok yang kuabadikan dalam aksara.

“Ada kehidupan di sana, dan seseorang harus menyelamatkannya.”

“Tidak bisa yang berarti bisa, kan?”

“He…”

Aku terkekeh getir mendengar pengakuan wanita cantik satu ini. Rasaya pahit pekat kopi yang sedang kuseruput berubah hambar seketika.

“Aku hanya sekadar pamit. Tapi dia justeru mengusirku tanpa terduga.”

“Itu berarti dia tidak ingin kamu pergi dalam arti sebenarnya. Tinggallah beberapa saat, saya mohon.”

“Tidak bisa.”

“Kemana kamu akan pergi?”

“Jakarta. Aku akan tinggal beberapa saat di sana, memutuskan apakah aku harus pergi atau sekedar menghilang kemudian kembali.”

“Saya menyukai kalimat keduamu.”

“Ya, aku juga berharap hatiku mengatakan hal yang sama denganmu.”

Hal yang sama akan merubah keadaan ke depan. Hal tidak terduga yang harus kuputuskan sendirian. Apakah aku akan bersama sosok yang selalu kuharapkan. Pria dengan keselamatan dan kebahagiaan yang kulangitkan tanpa jeda. Sosok raksasa yang selalu kuceritakan kepada Tuhan. Ataukah, seorang pria lain yang saat ini sedang menjadi peran pembantu dalam drama tidak bernaskah yang sedang kumainkan? Semua ada di tangan Tuhan. Rencana yang sudah kusetujui sebelum aku bersedia dilahirkan ke dunia.

“Saya percayakan kamu. Tenangkan dia.”

“Tidak bisa.”

“Jika kamu tidak bisa membuat dia kembali mengagumi kamu. Buat dia membencimu. Setidaknya, ada celah lain untuk dia lupa kejadian pahit itu.”

“Kamu…”

Aku tidak habis pikir dengan wanita yang pernah menjadi calon raksasa itu. Menggunakan aku sebagai kambing hitam kehidupan cintanya. Apakah dengan itu semua masalah selesai?

Ketika aku harus memupuk banyak kesabaran untuk menahan pembicaraan miring tentangku dan sosok raksasa itu, dia dengan penuh kebahagiaan menjalin kasih dengannya. Ketika sekuat tenaga aku mencoba mengembalikan suasana menjadi baik-baik saja, dengan santai dia berkata demikian. Pikirannya tidak bisa kumengerti. Benci tanpa sebab, marah tidak jelas, hubungan yang tidak pernah ada. Semudah itukah jalan pikirannya terhadap masalah ini? Lucu, sungguh, sangat lucu!

“Kamu…menganggap ini masalah sederhana? Dia membenciku tanpa kejelasan adalah hal konyol yang akan menjadi bahan tertawaan seluruh kampus. Jangan melucu dengan pikiran konyol kamu itu, Manda!”

“Saya tidak berpikir konyol. Sebentar saja, setidaknya sampai dia bertanya ‘siapa’ ketika namaku disebutkan.”

“Tidak bisa.”

“Tidak bisa? Kenapa yang kamu katakan setiap saya meminta sesuatu selalu tidak bisa? Apakah tulisanmu di blog tidak cukup memberi bukti kepada banyak orang bahwa kalian saling memiliki rasa? Saya cemburu Nafa! Ketika banyak orang lebih mengenal kisah kalian ketimbang kisah saya dengannya. Tuhan lebih sayang kalian daripada saya dan dia. Kenapa harus kamu yang menjadi titik puncak dari segitiga yang tidak saya inginkan? Bahkan orang tuanya pun merasa saya tidak cukup melengkapi kekurangannya. Dan kamu? Bisa jadi akan menjadi calon yang lebih mereka inginkan. Apa salahnya bertahan sebentar, bahagiakan dia selagi kamu bisa. Bukankah harapanmu kepada Tuhan adalah kebahagiaannya? Kenapa tidak kamu yang menciptakan? Kenapa harus saya memohon? Padahal saya tahu, jawabanmu pasti tidak. Nafa…”

Air mataku menetes tidak terasa. Nafasku terhenti seketika. Merasakan ada seseorang mencabik-cabik kulit ariku dengan silet. Aku sakit. Semua kata-kata yang Manda ucapkan adalah benar. Aku kemana? Ketika Tuhan menyediakan jalan agar aku bisa membahagiaan dia. Aku kemana? Ketika Tuhan menjadikan kisahnya dan Manda berpeluang untukku bersamanya. Kenapa aku harus pergi? Kenapa aku harus memilih seseorang yang tidak pernah ada di pengharapanku? Kenapa aku tidak bisa mengamini rencana Tuhan yang memberikan jalan untukku kepadanya? Kenapa…?

Aku hanya bisa bertanya kenapa dalam hati. Mendengarkan Manda yang juga menangis. Menggenggam erat tanganku, mengucapkan kalimat selanjutnya dengan susah payah. Nafasnya tertahan tangis, bahkan aku sudah tidak bisa lagi berbicara dalam keadaan menyakitkan seperti itu. Tidak paham denga rencana Tuhan atas semua ini. Aku harus bagaimana?

“Nafa... saya mohon. Kembali saya katakan, jangan sia-siakan rasa sakit saya. Jangan biarkan pengorbanan saya melukai diri sendiri terbuang begitu saja. Dia butuh kamu kali ini, buat dia lupa. Jika tidak dengan membahagiakan dia seperti yang selalu kamu bicarakan dengan Tuhan. Buat dia membencimu, sibuk memikirkan caranya menjauhimu, sehingga lupa untuk mengingat saya lagi. Saya mohon.”

Aku terduduk lemas. Merasakan dingin tangan Manda yang masih menggenggam tanganku. Mendengar sesak nafas Manda yang seirama dengan tangisku. Aku tidak bisa lagi berkata. Seketika aku merasakan pita suaraku terputus menyakitkan.

Beberapa saat, aku dan Manda menikmati suara-suara tangis dan sesak. Kembali memutar rekaman percakapan kami sedari tadi. Memaksa otak yang lelah untuk bekerja, berpikir, mengambil keputusan, dan melakukan hal yang tidak mudah sebenarnya.

Dua puluh menit berlalu ….

Manda mulai meregangkan genggamannya. Menatapku nanar, matanya masih basah, hidungnya tampak memerah dan bibirnya terlihat kelu untuk berkata-kata. Akupun memulai.

“Aku…”

Dalam tangis yang masih belum reda, sesak yang masih memeluk diafragmaku. Aku berusaha mengucapkan kata-kata yang mungkin bisa mengakhiri percakapan ini.

“Aku…aku memang tidak bisa melakukan seperti inginmu. Tapi, … Jika aku harus membuatnya lupa ingatan tentangmu. Aku bisa janji, dia akan bertanya ‘siapa’ ketika namamu disebut.”

Terbata-bata aku mengucapkan suatu keputusan besar yang kujanjikan kepada wanita yang kini menangis bersamaku. Seketika Manda memelukku erat. Tanpa kata, hanya gerakan kecil dan gumam yang tersamarkan tangis mengisyaratkan ucapan terima kasih. Aku tidak bisa menahan tangisku lagi. Canggung aku memeluk balik tubuhnya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya, mengelus rambut hitam pendeknya dan sesekali mengusap air mataku sendiri agar tidak membasahi baju mahalnya.

Aku bisa merasakan, cinta Manda lebih besar dari pengharapanku. Aku bisa merasakan betapa tidak bersyukurnya aku dengan rencana Tuhan yang masih belum kupahami.

Kenapa Tuhan menghadirkan Mas Yoga dan Manda dalam kisah ini? Kenapa ketika Manda tidak lagi bersama sosok raksasa itu, Mas Yoga hadir dengan banyak kebahagiaan yang tidak kuharapkan dengannya? Inikah ujian? Inikah pilihan yang sebenarnya?

Kurasa benar bahwa bubuk berkafein bernama kopi selalu memiliki sisi nikmat dan menyakitkan. Pahit pekat yang menjadi candu kemudian menyakiti. Memaksa si penikmat memilih untuk tetap terkantuk-kantuk atau sakit. Semua keputusan ada di tangan si penikmat. Karena kopi tidak memiliki kuasa untuk mengubahnya menjadi manis tanpa kerja tangan penikmat yang menuangkan gula ke dalamnya.

(Tulisan ini adalah satu dari sekian banyak percakapan antara Nafa dan Manda dalam Novel Mr.Pras, bab Sehangat Sepahit. Semoga kalian suka, jangan lupa krisan, terima kasih telah membaca.)

Comments

Popular posts from this blog

Putri Al Fatih Quotes #8

Putri Al Fatih Quotes #9

Quotes by Putri Al Fatih Support by Paletto App ... @2017

Putri Al Fatih Quotes #10